30/8/19.
Tanah itu jadi dibangun. Tanah yang sangat diincar dan berharap banget bisa dimiliki sekarang sudah menjadi hak orang.
Luas 90 m2, harga 150 juta. Posisi persis depan rumah. Murah. Harusnya bisa gw milikin. Harusnya. Dengan posisi gw kerja berdua harga segitu semestinya bisa dijangkau.
Tapi "dosa-dosa" itu menghadangnya. Coba diutak-atik mencari jalan tetap buntu.
Gw kalah. Dan terluka. Menunggu akhir tahun semoga ada jalan.
-------------------
Seiring waktu hampir terlupa soal tanah. Luka hampir sembuh.
Sampai minggu lalu ada kabar bahwa tanah itu sudah terbeli. Dan mau dibangun. Luka itu tergores lagi. Ingatan bahwa pernah punya keinginan untuk memiliki tanah tersebut kembali terngiang meski tidak se-ambisi saat awal. Menyesal. Tapi mau gimana lagi. Sudah laku.
Maka kubiarkan luka mengering.
________________
Dan hari ini tanah itu benar-benar akan dibangun. Pemiliknya datang.
Satu kesalahan yang baru saja gw lakuin adalah bercerita segamblangnya kepada tetangga tentang bagaimana proses gw berusaha mendapatkan tanah itu dan gagal. Ternyata malah jadi bumerang.
Kenapa nggak bilang-bilang?
Kenapa nggak diambil pak, murah itu..
Coba dulu diambil, dirapiin lalu dijual lagi, pasti untung.
Dan bermacam omongan yang menimbulkan gejolak di dada. Merendahkan. Dan olok-olok.
Menghadapi kenyataan bahwa gw gagal memiliki tanah --yang murah dan posisi persis depan rumah-- itu, ditambah omongan mereka menanggapi kegagalan tersebut malah jadi makanan yang tidak enak untuk disantap. Getir.
Menimbulkan luka lagi.
____________________
Betapa polosnya gw. Malah membuka kebodohan sendiri.
____________________________________________________________________________________
Nggak lah. Gw nggak bodoh. Bodoh hanya anggapan mereka. Mereka tidak tau betapa gw sudah berusaha untuk mendapatkannya. Sampai pada satu kesimpulan bahwa memang belum rezeki. Iya, belum rezeki.
Allah sedang menyiapkan rezeki lain yang lebih baik untuk gw. Gw yakin dengan hal ini.
Allah sebaik-baik pemberi rezeki.
Allah yang Maha Menentukan atas segala sesuatu.
Allah belum mengizinkan untuk gw memiliki tanah itu, karena mungkin Allah tidak ingin gw terbelit hutang yang lebih banyak lagi nantinya. Allah mencukupkan satu rumah beserta isinya saat ini sebagai rezeki gw.
Allah akan menambah rezeki yang lain nanti jika gw bisa lebih bersyukur.
Allah Maha Baik.
Allah sebaik-baik pemberi rezeki.
Insya Allah.
Amiiin ya Rabbal 'alamiin.